Rabu, 08 Oktober 2014

APRESIASI PUISI SECARA PRODUKTIF


APRESIASI PUISI SECARA PRODUKTIF
A.      PENGERTIAN PUISI
Menurut Kurniawan dan Sutardi (2012: 26), apa yang disebut puisi adalah apa yang kau tulis sebagai puisi. Inilah puisi yang sesungguhnya bagi Anda yang sedang menulis puisi. Jika kenyataannya puisi Anda jelek, maka kenyataan yang pasti adalah pikiran kita masih belum match dalam menulis puisi. Lanjutkan dengan rajin membaca dan berdiskusi tentang puisi.  Pasti nanti pemahaman Anda tentang puisi semakin baik, dan hasilnya puisi yang Anda tulis juga semakin baik.
Berbeda dengan pendapat Mattew Arnold yang melihat darisegi keindahan pendendangannya bahwa bahwa “puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif dan paling efektif mendendangkan sesuatu” (dalam Situmorang: 1981:9). Berdasarkan pengertian tersebut dapatlha dikatakan bahwa puisi merupakan karya sastra yang berbentuk untaian bait demi bait yang relatif memperhatikan irama dan rima sehingga sungguh indah dan efektif.

Puisi sebagai suatu karya sastra seni terdiri atas berbagai ragam. Waluyo (1987) mengklasifikasi puisi berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan , terbagi atas: puisi naratif, puisi lirik, dan puisi deskriptif, yakni sebagai berikut.

B.       MACAM-MACAM PUISI

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru:
1.      PUISI LAMA
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain :
a.          Jumlah kata dalam 1 baris
b.         Jumlah baris dalam 1 bait
c.          Persajakan (rima)
d.         Banyak suku kata tiap baris
e.          Irama
Ciri-ciri Puisi Lama:
a.         Anonim (pengarangnya tidak diketahui).
b.        Terikat jumlah baris, rima, dan irama.
c.         Merupakan kesusastraan lisan.
d.        Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise.
e.         Isinya fantastis dan istanasentris.
Jenis Puisi Lama:
a.       Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Ciri-ciri:
a)      Berirama akhir abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde.
b)      Bersifat lisan, sakti atau magis
c)      Adanya perulangan
d)     Metafora merupakan unsur penting
e)      Bersifat esoferik (bahasa khusus antara pembicara dan lawan bicara) dan misterius
f)       Lebih bebas dibanding puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris dan persajakan.
Contoh  mantra :
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
b.      Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa.
Ciri-ciri:
  • Tiap bait terdiri atas empat baris (larik).
  • Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata.
  • Rima akhir setiap baris adalah a-b-a-b.
  • Baris pertama dan kedua merupakan sampiran.
  • Baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Jenis-jenis pantun dapat dikelompokkan berdasarkan isinya. Jenis-jenis pantun tersebut antara lain sebagai berikut:
a)    Pantun anak-anak, yang terdiri dari pantun bersuka cita dan pantun berduka cita
b)    Pantun Orang Muda, yang terdiri dari; pantun berkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perceraian, pantun beriba hati, pantun nasib/dagang.
c)    Pantun orangtua, yang terdiri dari; pantun nasihat, pantun adat, pantun agama.
d)    Pantun Jenaka
e)    Pantun teka-teki
Contoh pantun nasihat:
Ada pepaya ada mentimun (a)
Ada mangga ada salak (b)
Daripada duduk melamun (a)
Mari kita membaca sajak (b)

c.       Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua adalah isi. Memiliki pola sajak lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan secara langsung.
Ciri-ciri:
·           Setiap bait merupakan bagian dari keseluruhan.
·           Bersajak aa-aa, aa-bb
·           Bersifat epik: mengisahkan seorang pahlawan.
·           Tidak memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
·           Semua baris diawali huruf kapital.
·           Semua baris diakhiri koma, kecuali baris ke-4 diakhiri tanda titik.
·           Mengandung dua hal yang bertentangan yaitu rayuan dan perintah.
Contoh:
Dahulu parang, sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)

d.      Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan.
Ciri-ciri:
·      Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
·      Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
               Contoh :
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan

e.       Gurindam adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari dua bait, tiap bait terdiri dari 2 baris kalimat dengan rima yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Ciri-ciri gurindam:
·         Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian
·         baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
Contoh:
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
Bagai rumah tiada bertiang ( b )
Jika suami tiada berhati lurus ( c )
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )

f.       Syair berasal dari bahasa arab yaitu Syi'ir atau Syu'ur yang berarti "perasaan yang menyadari", kemudian kata Syu'ur berkembang menjadi Syi'ru yang berarti puisi dalam pengetahuan umum.
Ciri-ciri syair antara lain :
1.         Setiap bait terdiri dari empat baris.
2.         Setiap baris terdiri atas 8-14 suku kata.
3.         Bersajak a-a-a-a.
4.         Semua baris adalah isi.
5.         Bahasanya biasanya kiasan.
Contoh:
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
g.      Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Ciri-ciri:
·      Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
·      Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
·      Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
·      Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
·      Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d
Contoh:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu
B. PUISI BARU
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
2.      Ciri-ciri Puisi Baru
a.    Pengarangnya diketahui.
b.    Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama.
c.    Berkembang secara lisan dan tertulis.
d.   Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah).
e.    Isinya tentang kehidupan pada umumnya.
3.      Jenis-Jenis Puisi Baru Berdasarkan Isi Kandungannya
  1. Ode : Puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan. 
  2. Himne : Puisi yang berisi pujian terhadap tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.
  3. Elegi : Puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih dan kedukaan seseorang.
  4. Romance : Puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih. 
  5. Puisi Didaktik : Puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya ditampilkan secara eksplisit.
  6. Puisi Satirik : Puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat. 
  7. Puisi Dramatik : Puisi yang objektif,menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat dialog maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.
  8. Puisi Lirik :Puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman,sikap maupun suasana batin yang melingkupinya.
  9. Puisi Naratif : Puisi yang mengandung suatu cerita menjadi pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. 
  10. Puisi Efik : Puisi yang didalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan maupun sejarah.
Bentuk puisi baru berdasarkan jumlah barisnya, yaitu:
a. Distikon (Distichon)
    Distikon adalah sajak yang terdiri atas dua baris kalimat dalam setiap baitnya, bersajak a-a.
Contoh:                       Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal
Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)
b. Terzina             
     Terzina atau sajak tiga seuntai, artinya setiap baitnya terdiri atas tiga buah kalimat. Terzina dapat bersajak a-a-a; a-a-b; a-b-c; atau a-b-b.
Contoh:                       BAGAIMANA
Kadang-kadang aku benci
Bahkan sampai aku maki
........ diriku sendiri
Seperti aku
menjadi seteru
........ diriku sendiri
(Or. Mandank)
c. Quatrain
     Quatrain adalah sajak empat seuntai yang setiap baitnya terdiri atas empat buah kalimat. Quatrain bersajak a-b-a-b, a-a-a-a, atau a-a-b-b.
Contoh:                       MENDATANG-DATANG JUA
Mendatang-datang jua
Kenangan lama lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau
Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)
d. Quint
     Quint adalah sajak atau puisi yang terdiri atas lima baris kalimat dalam setiap baitnya. Quint bersajak a-a-a-a-a.
Contoh:                       HANYA KEPADA TUAN
Satu-satu perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakan
kepada Tuan
Yang pernah merasakan
Satu-satu kegelisahan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya kisahkan
kepada Tuan
Yang pernah di resah gelisahkan
Satu-satu desiran
Yang saya dengarkan
Hanya dapat saya syairkan
kepada Tuan
Yang pernah mendengarkan desiran
(Or. Mandank)
e. Sektet (Sextet)
     Sektet adalah sajak atau puisi enam seuntai, artinya terdiri atas enam buah kalimat dalam setiap baitnya. Sektet mempunyai persajakan yang tidak beraturan. Dalam sektet, pengarangnya bebas menyatakan perasaannya tanpa menghiraukan persajakan atau rima bunyi.
Contoh:                       MERINDUKAN BAGIA
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Alam seperti dalam samadhi
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)
f. Septima
    Septima adalah sajak tujuh seuntai yang setiap baitnya terdiri atas tujuh buah kalimat. Sama halnya dengan sektet, persajakan septima tidak berurutan.
Contoh:                                   API UNGGUN
Diam tenang kami memandang
Api unggun menyala riang
Menjilat meloncat menari riang
Berkilat-kilat bersinar terang
Nyala api nampaknya curai
Hanya satu cita dicapai
Alam nan tinggi, sunyi, sepi
(Intojo)
g. Stanza
     Stanza adalah sajak delapan seuntai yang setiap baitnya terdiri atas delapan buah kalimat. Stanza disebut juga oktaf. Persajakan stanza atau oktaf tidak berurutan.
Contoh:                       PERTANYAAN ANAK KECIL
Hai kayu-kayu dan daun-daunan!
Mengapakah kamu bersenang-senang?
Tertawa-tawa bersuka-sukaan?
Oleh angin dan tenang, serang?
Adakah angin tertawa dengan kami?
Bercerita bagus menyenangkan kami?
Aku tidak mengerti kesukaan kamu!
Mengapa kamu tertawa-tawa?
(Mr. Dajoh)
h. Soneta
     Soneta berasal dari kata Sonetto dalam bahasa Italia yang terbentuk dari kata latin Sono yang berarti bunyi’ atau ‘suara’. Adapun syarat-syarat soneta (bentuknya yang asli) adalah sebagai berikut.
• Jumlah baris ada 14 buah.
• Keempat belas baris terdiri atas 2 buah quatrain dan 2 buah terzina.
• Jadi pembagian bait itu: 2 × 4 dan 2 × 3.
• Kedua buah kuatrain merupakan kesatuan yang disebut stanza atau oktaf.
Contoh :
Gembala
Perasaan siapa ta ‘kan nyala ( a )
Melihat anak berelagu dendang ( b )
Seorang saja di tengah padang ( b )
Tiada berbaju buka kepala ( a )
            Beginilah nasib anak gembala ( a )
            Berteduh di bawah kayu nan rindang ( b )
            Semenjak pagi meninggalkan kandang ( b )
            Pulang ke rumah di senja kala ( a )
Jauh sedikit sesayup sampai ( a )
Terdengar olehku bunyi serunai ( a )
Melagukan alam nan molek permai ( a )
            Wahai gembala di segara hijau ( c )
            Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau ( c )
            Maulah aku menurutkan dikau ( c )
(Muhammad Yamin)

C.      KARAKTERISTIK DASAR PUISI
Menurut Priyatni, (2012: 65), karakteristik dasar puisi terdiri dari:
1.      Menggunakan persajakan yang sangat estetis.
2.      Menggunakan diksi yang padat.
3.      Fungsi utama adaalah mengekpresikan ide-ide pengarang bukan menceritakan sesuatu.
4.      Bahasaa bersifat monolog, artinya hanya ada satu pembicara atau pencerita yang membawakan seluruh teks.
Jika ada ada karakteristik yang menyimpang dari karakterisitik yang diungkapkan di atas, itu adalah pengecualian dan biasanya pengarang memberikan arahan baru dan mengelompokkannya ke dalam ragam puisi. Misalnya puisi naratif, dan puisi dramatik. Puisi naratif adalah puisi (unsur-unsur menonjol adalah unsur puisi), namun di dalamnya terdapat narasi/cerita. Puisi dramatik adalah puisi (unsur dasar puisi lebih menonjol) namun di dalamnya terdapat unsur-unsur drama, misalnya dialog dan konflik.
Keterangan:
Matra adalah pola irama dalam sebuah larik sajak yang memberikan efek keindahan apabila larik itu dibacakan.
D.  UNSUR PEMBANGUN PUISI

            Menurut Priyatni, (2012:69), unsur pembangun puisi terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ektrinsik. Berikut penjabarannya.
1.    Unsur intrinsik
a.         Judul
Judul adalah unsur esensial puisi. Judul bukan sekedar pelengkap puisi karena dari judul inilah secara eksplisit kita akan mengetahui puisi itu berbicara tentang apa dan mengekspresikan atau menyuarakan apa. Judul puisi yang baik adalah judul yang menggambarkan keseluruhan isi puisi. Ini berarti bahwa judul dan isi memiliki kesatuan atau keutuhan makna.
b.        Diksi
Unsur intrinsik puisi yang kedua adalah diksi atau pilihan kata.  Anggapan umum menyatakan bahwa dalam puisi sesuatu dapat dikatakan lebih singkat, padat, dan ekspresif. Puisi dapat dikatakan sebagai informasi yang dipadatkan, yang mengungkapkan sebanyak mungkin dengan sedikit kata (Luxemberg, dkk, 1989).
Coba perhatikan kutipan puisi berikut:
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
..........
Kata-kata pada puisi di atas adalah kata-kata terpilih yang mampu mengungkapkan banyak makna. Kedalaman dan keluasan pemahaman terhadap puisi tersebut sangat bergantung pada penguasaan pembaca terhadap kode bahasa, sosial budaya, dan sastra.
Kata tiga, dalam puisi di atas adalah pilihan kata yang sengaja dipilih untuk melambangkan sesuatu, demikian juga dengan frasa anak kecil. Kata Salemba, yang ditulis dengan huruf besar jelas bukan kata biasa, ia pasti merujuk pada sesuatu, misalnya nama tempat. Demikian juga kata sore itu, mengapa bukan pagi atau malam. Pembaca harus memiliki pemahaman tentang kode budaya untuk bisa menafsirkan kata-kata terpilih yang digunakan oleh penyair.
Banyak kata yang mempunyai dua jenis arti, yang satu arti tersurat, seperti yang kita temukan pada kamus, inilah yang disebut arti denotatif. Sedangkan yang kedua adalah arti tersirat, yakni arti yang ditambahkan atau disarankan pada arti yang tersurat itu. Kata-kata jenis ini biasanya memperoleh pergeseran arti bergantung pada situasi, kondisi, tempat, dan waktu pemakaiannya. Kata-kata yang seperti inilah yang disebut kata konotatif.
Pada karya-karya nonfiksi, misalnya karya ilmiah atau sejarah, kata-kata ditulis dengan saksama, tepat, dan faktual, untuk membawa informasi secara tepat dan akurat kepada pembaca. Oleh karena itu, untuk karya ilmiah digunakan kata-kata denotatif. Sedangkan pada tulisan-tulisan imajinatif, emosional, yang berfunngsi mengajak emosi pembaca, biasanya digunakan kata-kat yang bersifat konotatif.
c.         Imaji
Imaji merupakan pembayangan yang timbul sebagai akibat pembaca membaca atau mendengar sebuah puisi yang dibaca. Daya bayang atau pengimajian ini dianggap sebagai jiwanya puisi karena dengan disertai pengimajianlah sebuah puisi dapat dianggap lebih berjiwa dan lebih hidup (Antara, 1985).
Cobalah perhatikan kutipan puisi yang berjudul Beri Daku Sumba karya Taufik Ismail berikut!
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Setelah membaca kutipan puisi di atas, kita seolah-olah diajak penyair untuk melihat-lihat padang terbuka dan berdebu.  Imaji yang demikian itu kita sebut imaji visual atau imaji penglihatan.

Kleneng gentan, ringkik kuda,  dan teriakan gembala

Pada kutipan tersebut kita seolah-olah diajak mendengarkan kleneng genta, ringkik kuda, dan hiruk pikuk teriakan pengembala yang sedang menghalau kuda-kuda liarnya. Imaji yang demiikian ini kita namakan namakan imaji auditif atau imaji pendengaran.

Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana

Pada kutipan tersebut kita diajak merasakan angin zat asam panas yang dikipas dari sana. Imaji yang demikian ini kita sebut imaji taktil atau perasaaan.

d.        Bahasa Figuratif (Majas)
Majas adalah bahasa berkias yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya mampu memencarkan banyak makna atau kaya makna (Waluyo,1987). Perrine (dalam Waluyo, 1987) menyatakan bahwa bahasa figuratif dipandang lebih aktif untuk menyatakan apa yang dimaksud penyair, karena :
1.      Mampu menghasilkan kesenangan imajinatif.
2.      Mampu menghasilkan tambahan makna dalam puisi.
3.      Dapat digunakan untuk menambah intensitas perasaan penyair dan menyampaikan sikap penyair.
4.      Dapat digunakan untuk mengonsentrasikan makna yang disampaikan penyair dan cara menyampaikan sesuatu yang luas dan banyak dengan bahasa yang singkat dan padat.
Majas atau kiasan adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda dengan benda lain atau hal lain yang lebih umum.
Majas dapat digolongkan sebagai berikut.
  1. Majas perbandingan
  2. Majas pertentangan
  3. Majas pertautan
  4. Majas perulangan

A. MajasPerbandingan

Majas perbandingan terdiri dari 4 jenis, yaitu:

1. MajasPerumpamaan

Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berkaitan dan yang sengaja dianggap sama.
Contoh:
  • Bak mencari kutu dalam ijuk. (Melakukan sesuatu yang mustahil)
  • Bagai kambing dihalau ke air. (Hal orang yang enggan disuruh atau diajak mengerjakan sesuatu)
Perumpamaan secara eksplisit dinyatakan dengan kata seperti, bak, bagai, ibarat, penaka, sepantun, laksana, umpama.

2. Metafora

Metafora adalah perbandingan yang implisit. Jadi, tanpa kata pembanding di antara dua hal yang berbeda. Dengan kata lain, metafora yaitu majas yang berupa kiasan persamaan antara benda yang diganti namanya dengan benda yang menggantinya.
Contoh:
  • Kapan Anda bertemu dengan lintah darat itu?
  • Siti Mutmainah adalah kembang desa di sini.
  • Kelaparan masih tetap menghantui  rakyat Etiopia.
  • Nina tangkai hati  ibu.

3. Personifikasi

Personifikasi adalah majas perbandingan yang menuliskan benda-benda mati menjadi seolah-olah hidup, dapat berbuat, atau bergerak.
Contoh:
  • Peluru mengoyak-ngoyak dada musuh.
  • Banjir besar telah menelan seluruh harta penduduk.
  • Matahari mulai merangkak  ke atas.
  • Kabut tebal menyelimuti desa kami.

4. Alegori

Alegori pada umumnya menganding sifat-sifat moral manusia.Contoh:
  • Mendayung bahtera rumah tangga. (Perbandingan yang utuh bagi seseorang dalam rumah tangga).

B. MajasPertentangan

Majas pertentangan terbagi menjadi 7 macam, yaitu:
  1. Hiperbola
  2. Litotes
  3. Ironi
  4. Antonomasia
  5. Oksimoron
  6. Paradoks
  7. Kontradiksio

1. Hiperbola

Hiperbola adalah majas yang menyatakan sesuatu dengan berlebih-lebihan.
Contoh:
  • Keringatnya menganak sungai.
  • Suaranya menggelegar membelah angkasa.

2. Litotes

Litotes adalah majas yang menyatakan kebalikan daripada hiperbola, yaitu menyatakan sesuatu dengan memperkecil atau memperhalus keadaan. Majas litotes disebut juga hiperbola negatif.
Contoh:
  • Tapi, maaf kami tak dapat menyediakan apa-apa. Sekadar air untuk membasahi tenggorokan saja yang ada.
  • Tentu saja karangan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran akan saya terima dengan senang hati.

3. Ironi

Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang berlawanan atau bertentangan, dengan maksud menyindir. Ironi disebut juga majas sindiran.
Contoh:
  • Bagus benar ucapanmu itu, sehingga menyakitkan hati.
  • Kau memang pandai, mengerjakan soal itu tak satupun ada yang betul.

4. Antonomasia

Antonomasia adalah penyebutan terhadap seseorang berdasarkan ciri khusus yang dimilikinya.
Contoh:
  • Sssssttt, lihat! Si cerewet datang. Kalian tidak perlu bertanya.
  • Macam-macam! Biar si gendut saja nanti yang menghadapinya.
  • Kemarin saya lihat si Kacamata hitam keluar bersama-sama dengan si Kribo. Benar tidak?

5. Oksimoron

Oksimoron adalah pengungkapan yang mengandung pendirian/pendapat terhadap sesuatu yang mengandung hal-hal yang bertentangan.
Contoh:
  • Memang benar musyawarah itu merupakan wadah untuk mencari kesepakatan. Namun tidak jarang menjadi wadah pertentangan para pesertanya.
  • Siaran radio dapat dipakai untuk sarana persatuan dan kesatuan, tetapi dapat juga sebagai alat untuk memecah belah suatu kelompok masyarakat atau bangsa.
  • Olahraga mendaki bukit memang menarik, tetapi juga sangat berbahaya.

6. Paradoks

Paradoks adalah pengungkapan terhadap suatu kenyataan yang seolah-olah bertentangan, tetapi mengandung kebenaran.
Contoh:
  • Memang hidupnya mewah, mempunyai mobil, rumahnya besar, tetapi mereka tidak berbahagia. Tidak tahu mengapa, mungkin karena belum mempunyai anak.
  • Walaupun ia tinggal di kota besar, kota metropolitan, hiburan ada di mana-mana, ia bercerita padaku katanya kesepian.

7. Kontradiksio

Kontradiksio adalah pengungkapan yang memperlihatkan pertentangan dengan yang sudah dikatakan lebih dulu sebagai pengecualian.
Contoh:
  • Sebenarnya semua saudaranya, yang dulu-dulu pandai, hanya dia sendiri yang bodoh. Mungkin saja karena malasnya.
  • Malam itu gelap gulita, tanpa kerlip kunang-kunang yang sebentar tampak dan sebentar hilang.

C. MajasPertautan

Majas pertautan dibedakan menjadi:
1.       Metonimia
2.       Sinekdok, terdiri atas:
  1. Pars pro toto
  2. Totem pro parte
3.       Alusio
4.       Eufemisme

1. Metonimia

Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang atau hal, sesuai penggantinya.
Contoh:
  • Ayah suka mengisap gudang garam. (Maksudnya rokok)
  • Si Jangkung dipakai sebagai sebagai pengganti orang yang mempunyai ciri jangkung.

2. Sinekdok

Sinekdok adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya.
Contoh:
  • Sudah seminggu ini Iwan tidak tampak batang hidungnya. (Padahal yang dimaksud bukan hanya batang hidung)
  • Indonesia berhasil memboyong kembali piala Thomas. (Padahal yang berhasil hanya satu regu bulu tangkis)
  1. Pars pro toto adalah penyebutan sebagian untuk maksud keseluruhan. Contoh:
    • Jauh-jauh telah kelihatan berpuluh-puluh layar di sekitar pelabuhan itu.
    • Selama ini kemana saja kau? Sudah lama tak nampak batang hidungmu. Nenek selalu menanyakan kau.
    • Ia harus bekerja keras sejak pagi hingga sore karena banyak mulut yang harus disuapi.
    • Kita akan mengadakan selamatan sebagai rasa syukur karena kita naik kelas semua. Untuk itu biaya kita tanggung bersama tiap kepala dikenakan iuran sebesar Rp 1.500,00
  2. Totem pro parte adalah majas penyebutan keseluruhan untuk maksud sebagian saja. Contoh:
    • Dalam musim kompetisi yang lalu, kita belum apa-apa. Tetapi dalam tahun ini, sekolah kita harus tampil sebagai juara satu.
    • Dalam pertandingan musim lalu, Indonesia dapat meraih medali emas.

3. Alusio

Alusio adalah majas yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau hal dengan menggunakan peribahasa yang sudah umum ataupun mempergunakan sampiran pantun yang isinya sudah dimaklumi. Majas ini disebut juga majas kilatan.
Contoh:
  • Menggantang asap saja kerjamu sejak tadi. (Membual/beromong-omong)
  • Ah, kau ni memang tua-tua keladi. (Maksudnya makin tua makin menjadi)

4. Eufemisme

Eufemisme adalah majas kiasan halus sebagai pengganti ungkapan yang terasa kasar dan tidak menyenangkan. Eufemisme digunakan untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang dianggap tabu atau menggantikan kata lain dengan maksud bersopan santun.
Contoh:
  • Orang itu memang bertukar akal. (Pengganti gila)
  • Kalau dalam hutan jangan menyebut-nyebut nenek. (Pengganti harimau)
  • Pemerintah telah mengadakan penyesuaian harga BBM. (Pengganti menaikkan)
e.         Bunyi (Suara)
Ada beberapa bunyi yang memberikan sejumlah kesenangan kepada kita, sedangkan yang lain tidak.  Bunyi yang menyenangkan, misalnya: musik, sedangkan bunyi yang menimbulkan kengerian, misalnya angin puting beliung. Ada bunyi yang menimbulkan efek tenang, namun ada juga yang membuat kita takut atau terkejut. Untuk menimbulkan efek nuansa tertentu, banyak penyair mempergunakan kata-kata tertentu untuk memperoleh efek nuansa yang berbeda.
Dalam puisi, bunyi (suara) disamping tugasnya yang pertama adalah pendukung makna, juga digunakan untuk hal-hal berikut :
1.   Peniru bunyi (anomatope).
2.   Lambang rasa.
3.   Kiasan suara.
Pemakaian suara dalam puisi biasanya dipergunakan secara sadar oleh penyair yang tajam perasaannya. Penggunaan suara (bunyi) tidak semata-mata hanya sebagai hiasan, melainkan sebagai pendukung maksud atau jelmaan rasa. Penyait memilih bunyi-bunyi berikut untuk mendukung makna tertentu.
Bunyi
Nuansa Makna
g, d, j, b
Bunyi bersuara berat
i, e
Bunyi bersuara ringan untuk menyatakan perasaan secara langsung
a, u, o,
Bunyi bersuara keruh, kecil, dan rendah

f.          Rima
Rima adalah persamaan bunyi yang berulang-ulang baik pada akhir baris , awal, atau tengah yang tujuannya adalah untuk menumbuhkan efek estetis.
g.         Ritme
       Ritme merupakan bagian penting puisi. Ritme adalah rangkaian alun suara, naik turunnya suara, dan pengulangan bunyi yang terus menerus serta tertata rapi menyerupai alunan musik. Susunan irama akan kelihatan alamiah dan menyenangkan jika penataan bunyi tidak monoton dan mendapatkan penekanan-penekanan tertentu sehingga menimbulkan pencerahan.
h.        Tema
Setiap puisi ditulis dengan maksud tertentu. Puisi juga bisa mengungkapkan pandangan atau sikap penyair tentang suatu objek. Puisi juga bisa memberi dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik berupa pendidikan moral yang menanamkan nilai-nilai spiritual dan rohaniah.
Dalam memaparkan maksud atau tujuannya tentunya penyair tidak membeberkan pandangannya secara langsung. Namun, pembaca diberi kesempatan untuk mengambil kesimpulannya sendiri dari pengalaman yang dikemukakan dalam sajak itu.
            Tema adalah gagasan poko yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema tentulah merupakan kombinasi atau sintesis dari bermacam-macam pengalaman, cita-cita, ide, dan bermacam-macam hal yang ada dalam pikiran penulis.
            Di dalam tema sebenarnya dapat ditemukan amanat atau pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.
i.          Tipografi
            Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi yang menyangkut pembaitan enjambemen, penggunaan huruf, dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui secara konvensional, yang membedakan puisi dari prosa sebagai genre sastra adalah aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna.
            Pertama, aspek pembaitan-enjambemen berkaitan dengan penyusunan pembaitan karena pemutusan-pemutusan ungkapan yang dilakukan. Memang, pemenggalan-pemenggalan ungkapan yang kalimat dan kata dalam menulis puisi adalah hak hak prerogatif penulis, tetapi hendaknya penulis juga mempertimbangkan aspek ide gagasan yang ingin disampaikan sehingga koherensi makna dalam kalimat terbentuk.
            Dasar pemikiran penggalan kalimat atau ungkapan yang perlu dilakukan adalah atas dasar makna yang ingin disampaikannya, yang bisa jadi menurut pembacanya tidak diindahkan, karena tidak berpikir samapi sejauh itu. Namun, bagi penyair hal itu juga penting sebagai media untuk untuk mengekspresikan diri. Sebagai cara untuk mengkreasikan puisi agar lebih estetis dan memilki makna yang mendalam.
            Kedua, penggunaan huruf dan tanda baca. Persoalan ini kalihatannya sepele, tetapi sebenarnya memiliki fungsi semantis yang penting. Penggunaan huruf kecil besar atau bentuk dan jenis huruf, serta tanda baca yang dilakukan haruslah dalam rangka untuk membentuk koherensional makna. Misalnya, puisi yang menggunakan huruf kecil saja bisa mengandung makna keseragaman, keserasian, keharmonisan, kemesraan, dan sebagainya.
            Di sisi lain, penggunaan tanda baca pun demikian. Penggunaan tanda baca titik (.) tiga kali mengartikan sesuatu yang tidak terungkapkan. Sedangkan untuk tanda tanya (?) biasanya bermakna keraguan dan tanda seru (!) mengartikan ketegasan, kemarahan, dan keegoisan.
            Ketiga, bentuk pembaitan. Jangan dilupakan bahwa bentuk pembaitan dalam puisi pun dalam rangka untuk koherensi makna.  Puisi yang romantis, optimis, dan bahagia bentuk pembaitannya biasanya rapi dan indah. Sedangkan puisi yang mengungkapkan keruwetan, ketragisan, keputusasaan, dan kesedihan akut biasanya menggunakan bentuk pembaitan yang acak dan ruwet.

2.    Unsur Ekstrinsik Puisi
            Menurut Tri Priyatni, (2012: 74) Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra namun mempengaruhi kehadiran karya sastra sebagai karya seni. Unsur ekstrinsik puisi sebagai aspek yang berada di luar karya sastra seolah-olah terpisah atau berdiri sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan unsur intrinsik. Namun, sebenarnya antara aspek intrinsik dan ekstrinsik itu saling berhubungan tidak terlepas antara satu dengan yang lain. 
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi mempengaruhi keberadaan karya sastra sebagai karya seni. Pengkajian unsur intrinsik mencakup:
a.        Aspek Historis
            Aspek historis merupakan latar belakang peristiwa kesejarahan pada saat puisi itu diciptakan.
b.      Aspek Psikologis
                        Kaitan sastra dengan aspek psikologiis erat sekali, karena sastra berkaitan dengan kejiwaan manusia. Pada saat melahirkan imajinasinya, pengarang kadangkala memasukkan pengetahuan tentang psikologi tertentu, sehingga karya memuat aspek psikologis. Oleh karena itu, untuk memahaminya dengan baik diperlukan pengetahuan tentang psikologi untuk dapat menguak watak tokoh dan hukum kausalitas plot, sehingga dapat memperjelas kandungan nilai sastra pada karya sastra yang kita baca.
            Psikologi dan karya sastra memiliki keterkaitan yang fungsional karena bermanfaat untuk mempelajari keadaan jiwa orang lain. Namun, antara psikologi dan sastra terdapat perbedaan, yaitu gejala kejiwaan manusia yang ada dalam karya satra bersifat imajiner, sedangkan dalam psikologi, gejala kejiwaan manusia dialami manusia secara nyata. Dalam teks sastra biasanya yang dikaji adalah kajian tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan oleh pengarang dalam karyanya.
c.       Aspek Filsafat
            Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai kaiatan antara sastra dengan filsafat. Pertama, menyatakan bahwa sastra tidak memiliki kaitan dengan filsafat.  Sedangkan yang kedua menyatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara sastra dengan filsafat. Karya filsafat dapat memberi pengaruh kepada sastrawan dan ahli filsafat dapat dipengaruhi oleh karya sastra.
            Wellek dan Warren (1990) menyatakan bahwa dalam sastra terdapat nilai filsafat. Namun, perlu dipertanyakan apakah karya sastra yang berbau filsafat itu akan menjadi lebih baik. Terlepas dari baik atau buruknya karya sastra dalam kaitannya dengan kandungan nilai filsafatnya dapat dinyatakan bahwa sastra memang memiliki kaitan dengan filsafat, karena di dalaam karya sastra terdapat nilai-nilai filsafat tertentu.
d.      Aspek Religius
            Keberadaan aspek religius dalam karya sastra tidak perlu diragukan lagi. Y.B Mangunwijaya (1998) menyatakan bahwa sastra pada mulanya adalah religius. Kata religius memang mengacu pada agama, namun keduanya sebenarnya dapat dibedakan. Agama dan religius adalah dua hal yang berkaitan, bahkan melebur dalam satu kesatuan.
            Religi yang merupakan akar kata dari religion memiliki makna yang luas daripada agama. Religi berarti ikatan atau pengikatan diri. Oleh karena itu, bereligi berarti menyerahkan diri atau tunduk dan taat. Tunduk taat dalam arti positif, yakni penyerahan diri atau ketaatan yang dikaitkan dengan kebahagiaan dan kedamaian seseorang yang bereligi, serta ada keterkaitan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada tuhan.
            Adanya nilai religius dalam karya sastra merupakan akkibat logis dari kenyataan bahwa sastra dari pengarang yang homoreligius, yang merupakan pelaksaaan atau pengamat kehidupan religius.

E.  APRESIASI PUISI
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 1985:2002). Sementara itu, Effendi (1973: 18) menyatakan bahwa apresiasi sastra adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
Dalam sebuah puisi, istilah apresiasi itu sangat kental, dimana sebuah tindakan untuk menghargai, mengindahkan dan sekaligus memahami isi dari sebuah puisi.
Apresiasi puisi terkait dengan sejumlah aktivitas yang berhubungan dengan puisi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa kegiatan membaca dan mendengarkan pembacaan puisi melalui penghayatan sungguh-sungguh (Waluyo, 2003: 19).
            Mengingat bahasa puisi yang bersifat sugestif, asosiatif, dan imajis inilah, maka para ahli sastra mengatakan, bahwa hakikat puisi adalah citraan (imaji); bagaimana puisi itu mengungkapkan banyak hal melalui bahasa yang padat, lugas, dan bermakna. Akibatnya, terbuka peluang yang begitu luas kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan. dan semakin banyak tafsiran, semakin tinggi nilai karya itu.
            Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam mengapresiasikan sebuah puisi, apresiator perlu juga membekali diri dengan pemahaman, bagaimana apresiasi itu dilakukan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argumentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih mendalam. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan tindak apresiasi puisi.
Langkahnya yaitu lewat titik pandang (point of view) yang digunakan dengan mencermati  beberapa pertanyaan berikut ini::
1.      Siapa yang berbicara; aku liris, engkau liris, dia liris, atau subjek liris.
2.      Kepada siapa berbicara; kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau dirinya sendiri.
3.      Apa yang dibicarakan; dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apapun.
4.      Bagaimana ia berbicara; bersemangat, sedih, datar, marah atau gembira.

Dalam proses apresiasi terdiri dari tiga unsur yang penting, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaluasi. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan pembaca dalam memahami unsur-unsur kesusastraan yang berobjektif. Unsur kesusastraan yang berobjektif berhubungan dengan unsur yang terkandung daiam teks sastra atau unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra bersifat objektif, misalnya tulisan, aspek bahasa, dan struktur wacana, sedangkan unsur ekstrinsik berupa biografi pengarang, latar belakang penciptaan, maupun latar sosial budaya yang mereaksi, sikap kritis terhadap karya sastra semakin merionjol karma is mampu menafsirkan dengan seksama dan mampu menyatakan keindahan karya sastra dan menunjukkan dimana letak keindahan itu. Aspek emotif berkaitan dengan kepekaan perasaan penikmat. Aspek evaluatif berkaitan dengan kepekaan pikiran perasaan dan penghargaan yang positif.

F.   PROSES KREATIF MENULIS PUISI
Menurut Kurniawan dan Sutardi, (2012: 39), dalam penulisan puisi, pastiakan melewati serangkaian kegiatan kreatif yang sangat individual. Artinya, setiap individu mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menulis puisi. Walaupun bersifat individual, proses kreatif menulis puisi ada empat tahap, yaitu penentuan ide, pengendapan, penulisan, serta editing dan revisi. Penjelasan proses kreatif penulisan puisi sebagai berikut.
1.    Pencarian Ide
Bahan pertama dalam menulis puisi adalah ide. Adapula yang menyebutnya inspirasi, yaitu sesuatu yang menyentuh rasa atau jiwa yang membuat seseorang ingin mengabadikan dan mengeksperikannya dalam puisi. Ide atau inspirasi dapat berupa pengalaman, yaitu segala kejadian yang ditangkap pancaindera, yang kemudian menimbulkan efek-efek rasa sedih, senang, bahagia, marah, dan sebagainya yang kemudian dituliskan dalam bentuk puisi. Karena inspirasi berkaitan dengan pengalaman maka  pencarian inspirasi dilakukan dengan membuka selebar mungkin panca indera kita terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita.
Hal ini mengindikasikan bahwa pencarian inspirasi itu bersifataktif-kreatif, bukan pasif seperti yang dipahami selama ini yaitu. Inspirasi haruslah dicari, dipanggil, dan yang terjadi di sekeliling kita.  Dengan demikian, kepekaan pancaindera dan pemahaman diri yang baik menjadi kunci untuk bisa mendapatkan inspirasi sebagai bahan penulisan puisi.
Pemahaman diri penting karena setiap individu memiliki ciri khas dalam memaknai setiap kejadian atau fenomena yang diterima panca inderanya. Misalnya, bagi orang yang sensitif dalam indera penciumannya maka jika mencium aroma yang khas bisa menimbulkan getaran rasa yang menyentuh, yang bisa memunculkan ide-ide. Atau orang yang kuat dan sensitif dengan indera pendengarannya maka yang bersangkutan dapat bergetar hatinya jika mendengar bunyi atau lagu-lagu yang menggugah rasa. Dalam keadaan seperti ini biasanya ide cepat masuk yang menjadi bahan inspirasi. Saat keadaan seperti inilah berarti yang bersangkutan sudah mendapatkan ide sebagai bahan tulisannya.
Selain aspek penghayatan pancaindera, ide juga bisa muncul dari setiap peristiwa yang dialami sendiri yang dianggap istimewa  atau berharga, misalnya, kesedihan, percintaan, kerinduan, dan keputusan. Dalam situasi ini, jika kita sedang mengalami kejadian yang menggugah rasa maka sesungguhnya ide atau inspirasi sudah masuk, segeralah dijadikan karya. Jangan ditunda momen-momen itu karena bisa hilang dengan sendirinya.
Contoh kasus, jika anda merasa memiliki momen istimewa dan mendapatkan ide saat ada dalam pasar maka sering-seringlah pergi kepasar ebagai usaha mnemukan ide yang bisa bahan tulisannya. Inilah syarat pertama menjadi penulis puisi, yaitu menjunjung tinggi dalam kreativitas berburu ide. Tentu saja cara dan jalannya harus dilakukan dengan cara-cara yang positif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagai pemula, memburu ide menjadi tugas pertama untuk menjadi penulis puisi yang baik.
Kasus umum yang banyak terjadi, terutaa berdasarkan pengakuan para penulis, momen estetik dalam pencarian ide, para penulis banyak melakukannya dengan jalan-jalan, menonton film atau pertunjukan drama dan teater,  nongkrong sambil diskusi dikafe-kafe, tamasya, diskusi, dan membaca membaca buku atau mengunjungi toko-toko buku. Jika ini dilakukan maka sesungguhnya berburu bahkan melusis puisi itu adalah hal menyenangkan.
Dapatkah ide sebagai bahan menulis puisi dengan cara yang menyenangkan, yaitu berburu dalam setiap kegiatan yang secara pribadi bisa menggugah rasa anda. Anda pasti bisa karena setiap manusia hidup dalam pengalaman
2.    Pengendapan atau Perenungan
Jika ide itu sudah didapat maka renungkanlah atau endapkanlah, proses itu disebut pematangan ide. Ide adalah bahan mentah, sebelum ditulis perlu dimatangkan, dan caranya adalah dengan diendapkan dalam perenungan atau kontemplasi.
Biasanya proses pengendapan ini lama karena berkaitan dengan cara-cara yang akan dilakukan agar ideitu menjadi menarik. Lamanya tidak bisa diidentifikasi secara waktu, bergantung pada tingkat pemahaman individu yang berangkutan. Misalnya, ada penulis yang sekali dapat ide maka ia bisa langsung mengendapakan bersamaan dengan penulisan dalam komputer; ada juga yang sudah dapat ide, kemudian direnungkan berjam-jam untuk bisa dikembangkan menjadi puisi; atau ada juga yang setelah dapat ide dia juga harus merenungkan dengan menbuat coret-coretan dulu sebelum dituliskan.
Tentu saja, dari berbagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengendapkan ide ini tidak ada yang salah. Semua mempunyai cara sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik individunya. Yang perlu ditegaskan adalah, setiap mebuat ide maka saat itu juga harus  direnungkan dan diendapkan untuk menjadi bahan tulisan. Jangan sampai ditunda-tinda, besok, besok, atau besok lagi. Jika itu terjadi maka kemungkinannya akan lupa terhadap ide ersebut atau merasa ide itu sudah tidak penting karena kita akan mendapatkan ide baru. Akhirnya, sia-sia ide yang kita dapatkan.
Tahap pengendapan ide digunakan untuk menemukan bait kunci atau diksi yang akan dijadikan sebafai pijakan untuk pengembangan ide.
Proses pengendapan ide umumnya bersifat respon spontan. Artinya, kita mendapatlan ide maka perasaan dan pikiran kita langsung berimajinasi ke mana-mana. Misalnya, Anda mendapatkan momen kecelakaan yang mengerikan, pasti Anda langsung membanyangkan kematian, ingat teman atau saudara mengalami hal serupa, ingat keluarganya, ingat darah yang paling Anda takuti, dan sebagianya. Nah, karena muncul banyak kemungkinan dari peristiwa yang membangkitkan ide maka tugas berkontemplasi adalah memilih fantasi dalam imajinasi yang menurut Anda paling menarik. Kemudian pikirkn diksi-diksi yang tepat dan bisa membangunkan fantasi ini.
3.    Penulisan
Jika proses pengendapan atau perenungan ide sudah matang maka tuliskanlah. Jangan menunggu waktu. Tulis apa yang sudah ingin ditulis dengan segera. Seuaikan penulisannya sesuai dengan kebiasaan Anda menulis. Kalau bisa tulis sampai selesai, jangan berhenti kalau memang tidak benar-benar buntu. Prinsip menulisnya adalah ungkapan atau muntahkan segala hal yang ada dalam otak anda, tentang ide yang yang sudah didapat atau diendapkan. Jika sudah selesai, rehatlah sejenak. Tapi, jika masih punya daya dan tenaga, bisa hasil tulisan yang sudah jadi dibaca ulang dan dibetulkan bahasa atau isinya.
Dalam proses penulisan ini, persoalan yang sering muncul adalah buntu, macet, maksudnya tidak bisa melanjutkan karena idenya buntu. Jika hal ini terjadi maka jangan paksakan selesai. Namun, yang perlu dicamkan baik-baik, setiap kali menulis kita harus selesai tuntas. Persoalan baik atau tidak puisi Anda itu proses. Tidak ada rumusnya dalam menulis, sekali menulis langsung baik. Semuanya membutuhkan kontinuitas dan ketelatenan. Jika masih buntu lagi, istirahatlah lagi dan jika sudah fresh maka lanjutkan lagi. Terus, jangan putus asa sampai selesai.
Jika sudah selesai maka berbahagialah. Setelah berjuang dari mendapatkan ide, mengolah, hingga menuliskannya, sungguh membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran yang melelahkan. Jika sudah kelar, itu berarti Anda telah mendapatkan kemenangan maka rayakan kemenangan itu dengan melakukan hal-hal yang Anda sukai. Misalnya, menonton film, jalan-jalan makan, tidur, tamasya, dan sebagainya. Itu kelihatannya sepele, tapi sesungguhnya inti penting sebagai cara untuk tetap menjaga diri agar tetap menjaga diri agar terus bugar dalam menulis dan merasa tidak bodan sehingga Anda akan terus tetap semangat menulis.
Satu ide dalam menulis puisi sering tidak jadi suau puisi saja, tetapi bisa menjadi banyak. Menulis banyak dengan ide, sangatlah tidak salah, bahkan harus demikian idealnya. Dengan demikian berarti anda, sudah mulai rajin menulis. Inilah pangkal awal untuk menjadi penulis puisi yang sungguh-sungguh. Yang terpenting dalam menulis adalah tuliskan apa saja yang ingin Anda tulis.
4.    Editing dan Revisi
Jika sudah kelar penulisan, disusul setelah Anda beristirahat maka kegiatan menulis dilanjutkan dengan editing dan revisi. Sekalipun kegiatan ini dilakukan dengan proses yang bersamaan, tetapi sebenarnya merupakan kegiatan yang berbeda. Namun, oleh banyak orang sering disamakan.
Editing ini berkaitan dengan pembetulan pada puisi yang diciptakan pada  aspek membaca, baik salah ketik, pergantian kata, sampai kalimat, bahkan tata tulis; sedangkan revisi berkaitan dengan penggantian isi atau subtansi. Dual hal ini pasti terjadi dalam setiap penciptaan puisi. Hal ini terjadi karena, pada aat Anda menulis sebenarnya dalam keadaan trans, semacam ketidaksadaran sehingga hasil puisi sering terjadi anakronitis dari aspek bahasa maupun isi. Oleh karena itu, editing dan revisi menjadi syarat mutlak untuk bisa menghasilkan karya puisi yang bagus.
Persoalan yang sering muncul dalam proses editing dan revisi adalah sering berubah bahasa dan isi dari puisi awal dengan puisi setelah diediting dan revisi karena mendapat tambahan, penghilangan bahkan penggatian tema. Tentu saja itu tidak apa-apa. Bahkan itu lebih baik. Saat menulis tuntutannya adalah “jadi karya” maka menulis pun meluncur saja tidak terkendali, sedangkan editing dan revisi tuntutannya ”perbaiki” maka segala hal, baik bahasa maupun isi, yang dikira tidak sesuai dan tidak baik harus diperbaiki. Karena prinsip ini maka dalam editing dan revisi selaluterjadi perubahan, yaitu perubahan menuju ke arah yang lebih baik.
Secara teknis, proses editing dan revisi ini dapat dilakukan sebagai berikut:
1.         Setelah selesai beristirahat, baca kembali puisi anda dalam komputer pelan-pelan.
2.         Perbaikilah aspek bahasa jika terdapat kesalahan-kesalahan, jangan lupa juga revisi isi atau substansinya jika di anggap urgen untuk dilakukan.
3.         Setelah selesai, cetaklah karya anda dalam printout, kemudian baca kembali puisi anda dengan seksama, saya yakin, meskipun dari pembacaan pertama lewat layar monitor sudah dilakukan, tetapi kesalah pasti terjadi. Hal ini karena tingkat ketelitian membaca dengan media kertas itu lebih tinggi daripada media monitor.
4.         Jika sudah selesai pindahkan revisian tadi kedalam komputer, jika sudah selesai cetak karya anda.
5.         Selanjutnya baca kembali, jika masih ada yang salah atau tidak pas maka berikan puisi itu pada teman, saudara, atau pakar di bidangnya untuk membaca karya anda dan mengkritisinya.
6.         Jika hasil kritiknya memang ada yang menarik maka masukkan krtik tersebut. Dari sinilah hasil revisi dan editing berakhir. Jika sudah melewati tahap ini, berarti puisi anda sudah jadi, dan siap untuk dipublish ke koran-koran atau media masa.
Jika proses ini selesai, berarti anda telah berhasil mencipta puisi dengan segala liku-likunya. Kerja keras anda berbuah hasil puisi yang baik karena serangkaian prosesnya sangat melelahkan. Jika sudah jadi maka tinggal melakukan apresiasinya. 


DaftarRujukan
Badriyah, Ratu. 2000. Apresiasi Puisi dan Cerita Anak secara Produktif. Jakarta:
            Universitas Terbuka.
Kurniawan, Heru, dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta:
            Graha Ilmu.
Kusmayadi, Ismail. 2007. Think Smart Bahasa Indonesia untuk Kelas XII
            SMA/MA Program Bahasa
. Jakarta: Grafindo.
Nurrizati. 1999. Kajian Puisi. Padang: FBS UNP.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Satisika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
            Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, S.A. 1985. PuisidanPengajarannya (sebuahpengantar). Semarang: IKIP
           
SemarangPress.
Sumardjo, Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung. Penerbit Alumni.
Tri Priyatni, Endah. 2012. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.
           
Jakarta: Bumi Aksara.

Wardani. 1980. Pengajaran Sastra. Jakarta: Depdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.